Hal itu dialami Kompas saat menyelam di Shotgun/Gililawa Laut, Taman Nasional Komodo (TNK) di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, pertengahan September. Bukan hanya buih, kaki pun tertarik ke samping, celah antara dua pulau kecil.
Kerasnya arus membuat tongkat monopod yang dibawa Sumarto Suharno, buddy diver Kompas , menjadi bengkok. Sumarto memakainya untuk mengganjal celah dua batu karang agar tak terseret arus.
Sejak lama, TNK terkenal sebagai titik penyelaman yang arusnya penuh sensasi. Selain berarus sangat kuat, waktunya pun sulit diprediksi. Bagi penghobi wisata bawah laut, kondisi itu justru menantang dan menarik. Arus kuat identik dengan kehadiran ikan-ikan berukuran besar serta sensasi mengontrol buoyancy agar gerakan tubuh tetap terkendali.
Meski berarus kuat, di Shotgun, penyelam pendatang baru masih bisa turun. Arus kuat hanya terjadi di titik tertentu. Permukaan laut relatif tenang sehingga tak membuat panik.
Hal itu dibuktikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di sela-sela acara Sail Komodo 2013. Zulkifli didampingi dua instruktur selam mumpuni, Condo Subagyo (pemilik CN Dive di Labuan Bajo) serta Kiki Murdyatmoko (instruktur Scuba School International). Condo dan Kiki mengapit Zulkifli menuruni dan mengitari dinding karang sedalam 10-15 meter.
”Pak Menteri sangat berani. Hanya awal-awalnya kami kawal, tetapi setelah di dalam tenang. Beliau menikmati dan malah mengejar ikan-ikan besar, tidak mau kami arahkan,” kata Condo yang memiliki sertifikat instruktur dari beberapa lembaga selam internasional.
Berada di segitiga terumbu karang, perairan di Komodo relatif terlindungi berkat statusnya sebagai taman nasional. Paling tidak terdapat 40 titik selam yang eksotis.
Perairan Komodo kaya akan nutrien yang dibawa oleh arus kencang. Tak heran, perairan itu menjadi habitat bagi lebih dari 260 spesies koral, 70 spesies spons, dan 1.000 spesies ikan.
TNK yang berada di antara Pulau Flores dan Sumbawa mengalami arus pasang surut akibat posisi bulan, matahari, dan rotasi bumi. Ada pula arus pantai yang dipengaruhi kondisi angin, gelombang, dan bentuk daratan. Juga arus samudra yang dipengaruhi angin, perbedaan suhu air, dan salinitas.
”Faktor pasang surut menjadi pencetus arus yang kuat. Dari sisi lokasi, terdapat celah sempit yang membuat arus semakin kencang,” kata Alan Frendy Koropitan, pakar oseanografi dari Institut Pertanian Bogor.
Secara hidrofisika, kecepatan itu diperoleh dari volume air yang besar dari/menuju Laut Flores/Samudra Indonesia yang dipindahkan melalui jalur kecil, celah antarpulau. Bagi fauna bawah air, arus ini memasok makanan bagi mereka.
Adi Purwandana, peneliti oseanografi fisika dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), menjelaskan, perairan dari utara Laut Flores bertipikal massa air dari Pasifik utara, dan di perairan selatan tipikal Samudra Hindia.
Penelitian yang dilakukan Adi menggunakan Kapal Baruna Jaya VIII di sela-sela Sail Komodo 2013 menunjukkan, perairan di sekitar Komodo didominasi oleh massa air dari Laut Pasifik. Fluktuasi pasang surut perairan menguat pada saat pasang.
Adi mengatakan, perairan di sekitar Komodo merupakan salah satu perairan unik di Indonesia. Meski banyak pulau-pulau kecil, Komodo memiliki karakteristik laut lepas.
Analisis hasil pengukuran suhu, salinitas, kelimpahan klorofil menggunakan alat conductivity, temperature, and depth (CTD) menunjukkan, faktor temperatur mendominasi karakter perairan. Pada tipe estuarin, lebih dipengaruhi faktor salinitas.
”Biasanya di daerah kepulauan, pulau-pulau kecil, karakteristiknya estuarin karena dipengaruhi daratan/sungai dan pelapukan batuan yang menjadi sumber nutrien,” kata Adi.
Namun, penelitian itu dilakukan pada bulan September, saat monsun tenggara. Pada monsun barat laut mungkin karakteristik tersebut berubah.
Konsekuensi perairan berkarakter laut lepas, dari sisi biologi, mudah ditemui jenis ikan pelagis yang cenderung besar. Sumber nutrien ekosistem tersebut dipenuhi dari dasar perairan yang teraduk tarikan arus pasang yang kuat.
Saat menyusuri pemandangan bawah laut di TNK, September lalu, hampir di semua titik penyelaman ditemukan kehadiran raksasa bawah air, seperti hiu, kerapu, triggerfish , dan pari manta.
Sayangnya, di dua titik penyelaman, Batubolong yang mewakili bagian tengah dan Shotgun/Gililawa Laut yang mewakili bagian utara Pulau Komodo tak ditemui pari manta.
Selain itu, ada lokasi selam Wainilu, Three Sisters, Pillarstein, Tatawa Kecil, Tatawa Besar, Siaba Kecil, Siaba Besar, Pink Beach, Pengah Kecil, Mawan, dan Manta Point.
Di bagian selatan ada Manta Alley, German Flag, dan Twins. Di bagian utara, ada Gili Lawa Darat Passage, Castle Rock, Crystal Rock, dan Toko-Toko.
Di Komodo bagian barat terdapat Tukoh Serikaya, Broken Hill, dan Wizards Hat. Di selatan Pulau Rinca, ada lokasi penyelaman Cannibal Rock, Torpedo Point, Crinoids Canyon, dan Yellow Wall.
Lokasi Batu Tiga terkenal paling berarus di samping Crystal Rock dan Castle Rock di TNK bagian selatan. ”Penyelam pemula jangan mencoba di Castle Rock, berbahaya,” kata Kiki. Di tempat ini, bagian permukaannya sudah berarus. Karena itu, penyelam wajib menggunakan metode negative entry (terjun ke air dengan BCD kempes/tanpa udara dan langsung tenggelam). Kalau dengan cara pasif, yakni fin di bagian bawah, dipastikan kita akan terseret arus.
Perairan TNK dipengaruhi oleh dua musim, yakni monsun tenggara (Juli hingga September) dan monsun barat laut (Desember dan Maret). Kondisi musim berpengaruh pada suhu air, arus, dan jarak pandang di tiap titik penyelaman.
Dengan medan relatif ekstrem, persiapan untuk menyelam di TNK harus matang. Selain memilih operator selam yang mengenal medan, perlu peralatan seperti sarung tangan dan pengait untuk menahan agar tidak terbawa arus.













0 komentar:
Posting Komentar