Belum tuntas penyelesaian korupsi yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar, publik dikejutkan oleh suap dalam penempatan notaris. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana membuka masalah itu. ”Ditemukan indikasi kuat ada penyimpangan. Ditemukan juga uang yang diduga diberikan oleh notaris untuk penyimpangan tersebut,” kata Denny.
Indikasi suap dalam penempatan notaris melibatkan Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Lilik Sri Haryanto. Lilik membantah menerima suap dan notaris yang disebut memberi uang masih didalami. Lilik sejak Senin, 7 Oktober 3013, telah mengajukan surat pengunduran diri.
Kasus di Kementerian Hukum menambah panjang daftar penegak hukum yang menggunakan jabatan untuk mendapatkan harta. Semangat melayani dan menegakkan keadilan jauh terpinggirkan. Mungkin dalam benak pikiran pejabat itu bagaimana mereka mengumpulkan harta untuk meraih kuasa dan ketika kekuasaan diraih bagaimana mereka menambah lagi timbunan harta mereka.
Penangkapan Akil bersama anggota legislatif Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, advokat Susi Tur Andayani, dan pengusaha Cornelis telah mempertontonkan betapa paripurnanya korupsi di Indonesia. Ya legislatif, bahkan pucuk pemimpinnya, ya legislatif, ya eksekutif, ya penegak hukum seperti advokat, ya pengusaha: semuanya bersama-sama terlibat dalam praktik korupsi. Seorang tersangka korupsi yang akan menyuap bahkan diantar suaminya.
Kata-kata rasanya telah habis menanggapi korupsi itu. Lembaga pencegah korupsi dibangun. Gerakan sosial masyarakat untuk memerangi korupsi muncul. Namun, nyatanya, suap dan korupsi terus terjadi. Dalam sejarah Indonesia, suap ataupun upeti telah mengakar. Dukut Imam Widodo, penulis Soerabaia Tempo Doeloe , menulis pengalaman Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa. Dalam pengalaman yang ditulisnya, 15 April 1805, Engelhard mengungkapkan dirinya menjadi kaya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan.
Contoh Engelhard tidak dimaksudkan agar kita menerima kenyataan kian merajalela korupsi. Contoh itu justru mendorong kita mencari solusi holistik memerangi korupsi. Solusi holistik melalui jalur pendidikan, kebudayaan, serta jalur rumah dan keluarga perlu dipikirkan secara bersama, selain hukum dan sanksi sosial.
Seperti ditulis pepatah China, ”Segala kebaikan dan keburukan berawal dari rumah”. Nilai-nilai moral untuk hidup jujur, tidak korupsi, perlu terus ditekankan untuk menghadirkan generasi baru Indonesia yang antikorupsi.
Solusi holistik itu membutuhkan kepemimpinan efektif yang bisa dijadikan contoh.













0 komentar:
Posting Komentar