Pada Juni 2013 Badan Pusat
Statistik (BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013.
BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar11,37 persen dari total penduduk. Jika
dibandingkan dengan kondasi Maret tahun lalu,berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06 juta jiwa.
Di tengah luar biasanya energi
yang telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan
kemiskinan, laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunankemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya,
dengan kecepatan yang lambat.
Konsekwensinya, sasaran tingkat
kemiskinan nasional sebesar 8 hingga 10 persen tahun depan seperti ditetapkan
pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional bakal sulit (baca:
mustahil) dicapai. Pasalnya, dampak kenaikan harga BBM Juni lalu
dipastikan bakal memicu lonjakan jumlah penduduk miskin minimal 1 persen pada 5-6 bulan mendatang.
Dalam beberapa tahun terakhir,
kinerja penurunan kemiskinan memang kurang memuaskan. Statistik menunjukkan,
sejak Maret 2007 hingga Maret tahun ini, laju penurunan jumlah penduduk miskin
rata-rata hanya sebesar 0,87 persen per tahun. Padahal pada
saat yang sama, anggaran untuk berbagai program penanggulangan kemiskinan telah ditingkatkan dari 53,1 triliun pada 2007 hingga menjadi 106,8 triliun pada 2013 (Kemenkeu, 2013).
Mengapa lambat?
Mengapa laju penurunan
kemiskinan berlangsung lambat? Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga hal
yang dapat menjelaskan hal ini, yakni kemiskinan yang kian kronis (chronic poverty), daya beli penduduk miskin
yang stagnan akibat digerus inflasi, dan pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas.
Sebagian besar penduduk miskin yang sulit dientaskan saat ini adalah penduduk dengan
kondisi kemiskinan yang sudah kronik. Kondisi serba kekurangan yang mereka
jalani bukanlagi kemiskinan sementara (transient poverty), yang lebih merupakan resultante dari sebab-sebab temporer: krisis ekonomi, kebijakan pemerintah yang tak populis seperti kenaikan harga BBM Juni
lalu, dan bencana alam. Kemiskinan yang mereka jalani bersifat persisten, tetap hadir meskipun krisis tak terjadi, kebijakan pemerintah populis, dan kondisi alam bersahabat.
Mereka yang berkubang dalam
kemiskinan kronik sejatinya terbelenggu oleh kemiskinan ganda. Mereka miskin
bukan hanya karena faktor pendapatan yang rendah (income poverty) tapi juga karena
kapabilitas—tingkat pendidikan dan kesehatan—yang jauh dari mumpuni (capability poverty). Dua jenis kemiskinan ini berkelindan, kait-mengait pada diri
mereka sehingga sulit diurai.
Karena itu, penduduk miskin
kronik menjadi sulit dientaskan dan diberdayakan. Berbagai program
penanggulangan kemiskinan berlapis pun tak bakal berpengaruh banyak dalam
mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Menurut Bank Dunia, penurunan
kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir berlangsung lambat karena laju peningkatan
harga-harga (inflasi) keranjang kemiskinan, yakni barang dan jasa yang dikonsumsi penduduk miskin, selalu lebih besar
secara signifikan dibanding inflasi indeks harga konsumen dan inflasi inti. Itu artinya, dalam beberapa tahun terakhir,
penduduk miskin dihadapkan pada tekanan harga-harga kebutuhan hidup yang terus
meningkat.
Celakanya, pada saat yang sama,
tingkat pendapatan penduduk miskin justru tak banyak berubah sehingga daya beli
dan tingkat kesejahteraan mereka cenderung stagnan. Dengan kata lain, kehidupan
ekonomi mereka begitu-begitu saja. Ini disebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi dalam beberapa
tahun terakhir kurang berkualitas meskipun
rata-rata di atas 6 persen per tahun.
Pertumbuhan ekonomi,
kenyataannya, lebih menguntungkan penduduk kelas menengah dan kaya karena lebih
digerakkan oleh sektor jasa (non-tradable) ketimbang sektor riil (tradable). Sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup bagi 40 persen angkatan kerja dansekitar 60 persen rumah tangga miskin, misalnya, terjebak dalam
pertumbuhan rendah dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak mengherankan jika
kemudian pertumbuhan ekonomi kian jauh dari semangat pro-poor. Karena faktanya, pertumbuhan yang terjadi memiliki sensitifitas
yang lemah terhadap penurunan kemiskinan. Ekonomi tumbuh mengesankan, namun
pada saat yang sama penurunan kemiskinan berlangsung lambat karena pendapatan
penduduk golongan bawah tumbuh lebih lambat dibanding kelompok kelas menengah
dan kaya.
Konsekwensinya, jurang ketimpangan pendapatan pun kian
melebar. Secara statistik, iniditunjukkan oleh indeks Gini yang telah menembus 0,41 poin pada
2012. Angka ini dapat dimaknai, 40 persen penduduk dengan
pendapatan terendah ternyata hanya menikmati 16,88 persen dari total pendapatan
yang tercipta dalam perekonomian, sementara 20 persen penduduk dengan
pendapatan tertinggi justru menikmati 48,94 persen dari total pendapatan.
Rentan miskin
Persoalan lain, meskipun
kemiskinan terus meunjukkan penurunan, jumlah penduduk yang rentan jatuh miskin (near poor) jika terjadi kejutan dalam
perekonomian—seperti kenaikan harga BBM Juni lalu—masih sangat tinggi. Pada
2012, misalnya, jumlahnya diperkirakan mencapai 94 juta jiwa atau sekitar 38,5
persen dari total penduduk (Bank Dunia, 2013).
Secara faktual, banyak penduduk
yang telah keluar dari jurang kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir,
kenyataannya, masih hidup dengan tingkat kesejahteraan yang tak jauh berbeda
dengan penduduk miskin. Secara statistik, pengeluaran mereka dalam sebulan
sebetulnya hanya berada sedikit di atas batas atau garis kemiskinan.
Dan boleh jadi, keputusan
pemerintah menaikkan harga BBM Juni lalu bakal mengirim sebagian mereka—termasuk 1,06 juta orang yang berhasil ke luar dari jurang kemiskinan pada Maret 2013— kembali ke jurang kemiskinan.
Sektor pertanian
Sekitar 63,20 persen penduduk miskin tinggal di pedesaan. Dan mudah diduga,
sebagian besar mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, baik
sebagai petani maupun buruh tani. Itu artinya, kunci utama keberhasilan
pengentasan kemiskinan di negeri ini adalah perbaikan kesejahteraan di sektor
pertanian-pedesaan.
Telah banyak kajian yang
menunjukkan, peningkatan produktivitas di sektor pertanian, selain dapat
meningkatkan pendapatan petani dan buruh tani di pedesaan, juga dapat
menstabilkan bahkan mengurangi harga bahan makanan. Padahal diketahui, sekitar
60 persen pengeluaran penduduk miskin dihabiskan untuk bahan makanan.
Karena itu, di samping terus meningkatkan efektifitas
berbagai program penanggulangan kemiskinan, penguatan sektor pertanian-pedesaan
juga harus menjadi fokus pemerintah. Jika tidak, penurunan kemiskinan bakal
terus berlangsung lambat./Kadir












0 komentar:
Posting Komentar